Pengakuan Kirsten Han, Jurnalis Singapura yang Dibayar 30 Juta Agar Tidak Mengkritik Pemerintahannya

tribuntimurwiki : Dalam sebuah diskusi, jurnalis Singapura, Kirsten Han mengungkapkan kerja jurnalis di Singapura yang dibayar besar namun dilarang kritik pemerintahan

TRIBUN MEDAN/ALIJA MAGRIBI
Diskusi bertajuk 'Dinamika Hukum Media Jurnalistik di Asia Tenggara digelar oleh Praktisi Hukum Ranto Sibarani, SH di kantornya, Komplek Perumahan Grand Paviliun Jalan. Melati Raya, Kelurahan Sempakata, Kota Medan, Sabtu (26/10/2019) 

Menurutnya, kelayakan kesejahteraan pers di Indonesia tidak sebanding dengan ancaman kekerasan yang sering menghantui jurnalis di saat meliput berita.

"Kekerasan demi kekerasan masih dialami wartawan Nasional, mulai dari aksi represif aparat, organisasi kemasyarakatan sampai dengan masyarakat itu sendiri. Padahal UU Pers No.40 Tahun 1999 sudah mengatur ancaman bagi siapapun penghalang kerja wartawan," ungkap Trully.

Hubungan Emosional Pejabat-Media dan Pemangkasan Karyawan

Ihwal sulitnya mendapat kesejahteraan bagi para wartawan - menurut Trully Okto Purba - membuat profesi dalam bidang pers cenderung memiliki hubungan emosional dengan para pejabat.

Adanya hubungan emosional ini menurutnya memerparah stigma pekerja media.

Tantangan serupa diakui Trully perihal perkembangan media digital.

Menurutnya, berbagai media yang tidak siap beralih ke media online, malah tumbang.

Alih alih meningkatkan kesejahteraan wartawan nasional, malah jatuh ke pemangkasan karyawan.

Baca: Wawancara dengan Aktivis Kemerdekaan Papua, Wartawan ABC News Australia Mengaku Dibuntuti

Baca: Penulis dan Wartawan Indonesia, Arswendo Atmowiloto Meninggal Dunia


Dinamika Pers Nasional

Bahasan ihwal dinamika pers nasional dijelaskan Ranto Sibarani, seorang pengacara nyentrik dengan kepala plontos.

Ranto menyampaikan UU Pers di Indonesia telah beberapa kali diubah dan dirumuskan pada rezim yang berbeda/

Hal ini menurutnya digunakan untuk memuluskan program politik pemerintahan.

Ditambahkan oleh Ranto, wajar jika pers tak mencapai kejayaannya, mana kala rezim yang berkuasa masih menganggap media sebagai pilar yang mengancam.

"UU Pers No. 40 Tahun 1999 adalah yang masih digunakan saat ini. Namun adanya UU ITE No.11 Tahun 2008 yang baru dibentuk, sedikit banyak menjerat banyak jurnalis. Ada upaya memidanakan jurnalis ataupun perusahaan media," kata Ranto.

Perdebatan muncul dalam diskusi apakah UU ITE bisa menjerat Jurnalis.

Ditarik kesimpulan dalam diskusi agar ke depannya, karya jurnalistik ataupun opini tidak dijerat UU ITE.

Karya Jurnalistik dibuktikan dengan website yang diakui Badan Pers sesuai undang undang Pers No. 40 tahun 1999 (Lex Specialis).

Kendati begitu jelas dasar hukumnya, menurut Ranto masih ada saja usaha untuk memidanakan jurnalis.

"Namun tetap saja ada upaya untuk memidanakan jurnalis sampai dengan saat ini," pungkas Ranto. 

Baca: Terungkap Detail Transkrip Rekaman Mengerikan Pembunuhan Jurnalis Arab Saudi, Jamal Khashoggi

Baca: Rekam Murid Makan Roti Campur Garam, Jurnalis di India Dipolisikan

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)

Sumber: Tribun Medan
Ikuti kami di
5 articles 182 0
Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.


Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

BERITA TERKINI

berita POPULER

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved