TRIBUNNEWSWIKI.COM - Seorang jurnalis asal Singapura, Kirsten Han mengakui terdapat perbedaan praktik kerja jurnalis di Singapura dengan di Indonesia.
Kirsten Han mengungkapkan bahwa di negara Singapura, seorang jurnalis dapat digaji sebesar Rp. 30 - 40 juta per bulan.
Namun dalam kerjanya, jurnalis dilarang melakukan kritik terhadap pemerintahannya.
Pernyataan Kirsten Han diungkapkan dalam diskusi yang digelar oleh praktisi hukum, Ranto Sibarani, SH, di kantornya, Komplek Perumahan Grand Paviliun Jalan Melati Raya, Kelurahan Sempakata, Kota Medan, Sabtu (26/10/2019) malam dengan tajuk 'Dinamika Hukum Media Jurnalistik di Asia Tenggara digelar oleh Praktisi Hukum Ranto Sibarani, SH, seperti dilansir oleh Tribun Medan.
Kirsten Han adalah seorang jurnalis paruh waktu dan Pemimpin Redaksi New Naratif, sebuah platform media yang fokus pada isu Asia Tenggara, penelitian, seni, dan community-building.
Tulisan-tulisannya juga muncul di The Guardian, The New York Times, The Washington Post and Asia Times.
Pada 2019, ia menerbitkan buku yang berjudul Rational Conversations: The Silhouette of Oppression.
Baca: Dituduh Sebarkan Kebencian, Sutradara & Jurnalis Dandhy Dwi Laksono Ditangkap Polisi
Baca: Rekam Pengeroyokan, Jurnalis Kompas Diintimidasi Polisi, Polda metro Jaya Koordinasi dengan Propam
Indeks Kebebasan Pers Singapura
Terkait dengan pelarangan melakukan kritik terhadap pemerintahannya, Kirsten menambahkan pernyataannya dengan mengacu pada Indeks Kebebasan Pers Singapura yang lebih rendah dari Indonesia.
Kirsten mengungkapkan Indeks Kebebasan Pers Singapura berada pada 151 dunia.
Sedangkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lain; Malaysia berada di peringkat teratas, posisi 123 di dunia. Indonesia menempati peringkat 124, Filipina 134, Thailand 136, Myanmar 138, Kamboja 143, Singapura 151, Brunei 152, Laos 171, dan Vietnam 176.
"Namun Indeks Kebebasan Pers Singapura lebih rendah dari Indonesia. Kami di Singapura dilarang mengkritik pemerintah. Press conference pun berjalan satu arah, yang mana kami hanya bisa memuat informasi yang disiarkan institusi negara via media sosial," kata Kristen dalam diskusi yang menggunakan dua bahasa ini.
Media Satu Arah dan Kesejahteraan Wartawan
Informasi perihal aktivitas negara - menurut Kirsten - dalam konferensi pers hanya berjalan satu arah.
Diakui olehnya, jurnalis di Singapura hanya dapat memuat informasi dari penyiaran institusi negara yang berasal dari media sosial.
Kirsten juga menyampaikan ihwal perusahaan pers di Singapura yang menyadari perkembangan era digital global yang otomatis melemahkan hasil dari media cetak (koran-majalah).
Kendati berjalan satu arah, Kirsten menambahkan bahwa perusahaan media - di Singapura - begitu sadar dengan kesejahteraan wartawannya.
Kesejahteraan Pers di Indonesia Belum Layak
Selain mengundang Kirsten Han selaku Jurnalis dari Singapura, acara diskusi juga turut mengundang Trully Okto Purba dari Tribun Medan.
Trully Okto Purba mengungkapkan bahwa kesejahteraan pers di Indonesia belum tergolong layak
Menurutnya, kelayakan kesejahteraan pers di Indonesia tidak sebanding dengan ancaman kekerasan yang sering menghantui jurnalis di saat meliput berita.
"Kekerasan demi kekerasan masih dialami wartawan Nasional, mulai dari aksi represif aparat, organisasi kemasyarakatan sampai dengan masyarakat itu sendiri. Padahal UU Pers No.40 Tahun 1999 sudah mengatur ancaman bagi siapapun penghalang kerja wartawan," ungkap Trully.
Hubungan Emosional Pejabat-Media dan Pemangkasan Karyawan
Ihwal sulitnya mendapat kesejahteraan bagi para wartawan - menurut Trully Okto Purba - membuat profesi dalam bidang pers cenderung memiliki hubungan emosional dengan para pejabat.
Adanya hubungan emosional ini menurutnya memerparah stigma pekerja media.
Tantangan serupa diakui Trully perihal perkembangan media digital.
Menurutnya, berbagai media yang tidak siap beralih ke media online, malah tumbang.
Alih alih meningkatkan kesejahteraan wartawan nasional, malah jatuh ke pemangkasan karyawan.
Baca: Wawancara dengan Aktivis Kemerdekaan Papua, Wartawan ABC News Australia Mengaku Dibuntuti
Baca: Penulis dan Wartawan Indonesia, Arswendo Atmowiloto Meninggal Dunia
Dinamika Pers Nasional
Bahasan ihwal dinamika pers nasional dijelaskan Ranto Sibarani, seorang pengacara nyentrik dengan kepala plontos.
Ranto menyampaikan UU Pers di Indonesia telah beberapa kali diubah dan dirumuskan pada rezim yang berbeda/
Hal ini menurutnya digunakan untuk memuluskan program politik pemerintahan.
Ditambahkan oleh Ranto, wajar jika pers tak mencapai kejayaannya, mana kala rezim yang berkuasa masih menganggap media sebagai pilar yang mengancam.
"UU Pers No. 40 Tahun 1999 adalah yang masih digunakan saat ini. Namun adanya UU ITE No.11 Tahun 2008 yang baru dibentuk, sedikit banyak menjerat banyak jurnalis. Ada upaya memidanakan jurnalis ataupun perusahaan media," kata Ranto.
Perdebatan muncul dalam diskusi apakah UU ITE bisa menjerat Jurnalis.
Ditarik kesimpulan dalam diskusi agar ke depannya, karya jurnalistik ataupun opini tidak dijerat UU ITE.
Karya Jurnalistik dibuktikan dengan website yang diakui Badan Pers sesuai undang undang Pers No. 40 tahun 1999 (Lex Specialis).
Kendati begitu jelas dasar hukumnya, menurut Ranto masih ada saja usaha untuk memidanakan jurnalis.
"Namun tetap saja ada upaya untuk memidanakan jurnalis sampai dengan saat ini," pungkas Ranto.
Baca: Terungkap Detail Transkrip Rekaman Mengerikan Pembunuhan Jurnalis Arab Saudi, Jamal Khashoggi
Baca: Rekam Murid Makan Roti Campur Garam, Jurnalis di India Dipolisikan
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)
Halaman selanjutnya